Sabtu, 21 Juli 2012

Suatu Waktu Bersama Ibu

Setelah 21 tahun menikah, istriku memintaku untuk pergi makan malam bersama wanita lain sebagai refreshing. Dia berkata, “Aku mencintaimu, tapi aku tahu ada wanita lain yang juga mencintaimu dan ingin menghabiskan waktu bersamamu.” Wanita lain yang dimaksudkan istriku tentu saja adalah ibuku, yang telah menjanda selama 19 tahun, sayangnya karena tuntutan pekerjaan dan ketiga anak-anaku, maka hanya sesekali saja aku bisa mengunjungi beliau.
Akhirnya pada suatu malam, aku menelpon ibu dan mengajaknya pergi ke sebuah restoran untuk makan malam. “Apa tidak salah ? Kamu baik-baik saja bukan?” tanya beliau keheranan… “Kurasa pasti akan menyenangkan sesekali menghabiskan waktu dengan Ibu”, aku menanggapi, “Hanya kita berdua saja Bu”. Ibu berpikir sejenak, kemudian berkata, “Baiklah Nak, Ibu kira juga begitu”.
Jum’at malam sepulang kerja, aku langsung menjemputnya. Ibu telah menunggu di pintu mengenakan mantel dan pakaian yang pernah ibu pakai ketika merayakan ulang tahun pernikahan yang terakhir kalinya. Turun dari mobil memasuki restoran, beliau memegang lenganku seakan-akan dia seorang Ibu Negara. Setelah kami duduk, aku harus membacakan menu karena mata beliau hanya bisa membaca huruf cetak besar. Setengah halaman menu yang aku baca, sejenak kualihkan pandangan dan melihat Ibu yang duduk di depan sambil menatapku. Beliau tersenyum, “Dulu ibu membacakan menu itu untukmu nak, ketika kamu kecil dan belum bisa membaca” tuturnya. Aku tersenyum, “Makanya, sekarang biarlah aku yang membacakannya untuk ibu,” jawabku. Selama makan malam, kami bercakap-cakap dengan penuh kegembiraan-tidak ada yang luar biasa dalam percakapan tersebut, hanya cerita keseharian ibu maupun aku. Ketika kami tiba di rumah ibu, beliau berkata, “Kapan-kapan Ibu ingin pergi lagi bersamamu nak, itupun jika kamu tidak keberatan saat ibu mengajakmu nanti.” Aku setuju, dan tidak lama kemudian aku berpamitan. “Bagaimana makan malamnya Pak? tanya istriku ketika kembali di rumah. “Menyenangkan! Lebih menyenangkan daripada yang kubayangkan,” jawabku. Beberapa hari kemudian, ibu meninggal dunia karena serangan jantung. Aku tidak bisa melakukan apa pun untuk beliau. Selang beberapa hari setelah itu, aku menerima sebuah amplop yang didalamnya berisi salinan tanda terima dari restoran tempat di mana aku dan ibu makan malam ketika itu. Sebuah catatan terlampir didalamnya : “Ibu telah membayar tagihan ini dimuka, meskipun ibu tidak yakin bahwa ibu bisa berada di sana; dan kalaupun memang seperti itu, biarlah ibu membayarnya untukmu dan untuk istrimu. Kamu tidak akan pernah tahu, betapa berartinya malam itu bagi ibu. Aku menyayangimu, Nak. “ Aku tercenung, baru aku sadari betapa berartinya kalimat itu bagiku, dan baru aku pahami betapa pentingnya memberi orang-orang yang kita cintai sebuah waktu yang memang layak dan seharusnya mereka terima.
Berilah mereka waktu yang pantas mereka terima, karena hal itu tidak dapat ditunda sampai “Lain kali”. Terlebih jika anda seorang pria yang masih memiliki IBU . . .